Ketika mendengar nama Ki Hajar Dewantara (KHD), pastinya pikiran kita langsung tertuju pada istilah Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani. Ing Ngarso Sung Tulodo artinya di depan memberikan teladan; Ing Madyo Mangun Karso, artinya di tengah memberi semangat dan Tut Wuri Handayani artinya di belakang memberi dorongan.
Dan jika kembali menilik ke belakang, saya tahu betul ungkapan KHD di atas namun belum menjiwai dan mengamalkannya dalam peran saya selaku seorang guru. Jika saya menelisik lebih dalam tentang Pemikiran KHD dalam modul 1.1 Program Guru Penggerak (PGP),
Saya sebagai guru Bimbingan dan Konseling dalam melakukan layanan terhadap peserta didik sesuai dengan komponen bimbingan konseling yang memiliki empat komponen yaitu : layanan dasar, layanan responsif, layanan peminatan dan perencanaan individual serta dukungan sistem.
Dari keempat komponen bimbingan dan konseling yang ada, layanan dasar, layanan responsif serta layanan peminatan dan perencanaan individual yang ketika melakukan layanan BK bisa disesuaikan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara.
Dalam layanan dasar yang sifatnya memberikan informasi kepada peserta didik biasanya dalam bentuk klasikal yang sebelumnya saya sering menggunakan model layanan “Teacher Center” pemberian layanan berpusat pada guru, setelah memahami filosofi dan pemikiran pendidikan menurut KHD ( Ki Hadjar Dewantara) bahwa seharusnya guru BK pun memberikan layanan dasar tersebut dengan “ Student Center” yang artinya berpusat pada siswa, dengan melihat kodrat alam dan kodrat zaman yang memang sudah dimiliki peserta didik.
Dalam layanan responsif, yang sifatnya pemberian bantuan kepada konseli yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera, biasanya saya melakukan layanan ini lebih memberikan nasihat dan perintah agar peserta didik melakukan apa yang saya sarankan dan saya perintahkan, namun dengan pemahaman tentang pendidikan menurut KHD maka pemikiran saya lebih terbuka lagi karena seharusnya guru BK pun berperan sebagai “penuntun” yaitu Menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Saya harus mengakui bahwa ada banyak anggapan yang saya yakini sebelum mempelajari modul ini antara lain:
Pertama memandang anak-anak sebagai gelas dan kertas kosong sehingga saya yang harus mengisi gelas tersebut sesuai dengan keinginan saya.
Dalam hal pembentukan karakter, saya sering memperlakukan anak-anak layaknya kertas kosong. Hal-hal yang saya anggap baik, itulah yang perlu saya coret dan goreskan pada anak-anak. Saya menganggap bahwa watak mereka akan terbentuk melalui didikan dan perintah serta aturan saya.
Kedua, memandang semua anak itu sama. Yang saya maksudkan adalah semua anak harus diperlakukan sama dalam pemberian layanan dasar karena bersifat klasikal yang mana saya harus menyeragamkan metode layanan tanpa mempertimbangkan minat dan potensi masing-masing anak. Disisi lain dengan menyeragamkan metode layanan maka saya tidak perlu disibukkan dengan pengelolaan pemberian layanan dasar dalam kelas.
Ketiga, saya adalah penguasa kelas. Saat melaksanakan layanan klasikal saya menganggap bahwa siswa harus mengikuti aturan saya dalam sesi. Saya punya kewenangan penuh untuk mengatur kelas menurut apa yang saya anggap baik.
Setelah mempelajari Pemikiran KHD dalam modul 1.1 PGP, pandangan saya berubah 180 derajat. Anggapan saya tentang ketiga hal diatas yang saya yakini selama ini adalah sebuah kekeliruan besar. Anggapan pertama bahwa yang memandang anak-anak sebagai gelas dan kertas kosong bertolak belakang dengan pemikiran KHD. Dengan pandangan tersebut maka secara tidak langsung menganggap anak sebagai objek dan saya selaku guru sebagai subyek.
KHD menyatakan bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Dengan demikian maka saya selaku pendidik hanya bisa mengarahkan tumbuh kembangnya kodrat tersebut.
Selanjutnya saya memandang semua anak itu sama. Anggapan ini tentu keliru dan tidak sejalan dengan pemikiran KHD. Menurut KHD setiap anak itu memiliki keistimewaan dan keunikan masing-masing; mereka punya keunikan dan karakteristik tersendiri sebagai individu. Saya sebagai guru seharusnya memberi tuntunan pada anak-anak menurut minat dan potensi masing-masing. Hal ini sejalan dengan analogi dari KHD bahwa seorang petani tak akan dapat menjadikan padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung.
Saya teringat sebuah cerita ketika suatu ketika disatu tempat diadakan sebuah kompetisi, dengan peserta : Kambing, ikan, kera dan burung, jenis lombanya misalnya lomba terbang, maka bisa dipastikan yang kan menjadi pemenang adalah burung, begitupun jika lombanya di rubah menjadi lomba berenang maka bisa dipastikan pemenangnya adalah ikan. ini mengartikan setiap anak memiliki potensi yang berbeda sesuai dengan kodrat alamnya.
Anggapan keliru saya yang berikutnya adalah menjadikan diri saya adalah penguasa kelas. Hal ini tentu kontras dengan pandangan KHD yang harus berhamba pada anak. Berhamba pada anak berarti menaruh rasa hormat dan siap melayani kebutuhan anak dalam pembelajaran. Tentunya sebagai individu, kebutuhan belajar siswa pastinya berbeda; hamba yang baik akan selalu melayani kebutuhan tuannya sebagai pribadi yang unik dan menghormati keunikan itu.
Implikasi dari berhamba pada anak adalah pembelajara yang guru lakukan haruslah berpusat pada siswa. Pembelajaran yang berpusat pada siswa berarti bahwa pembelajaran harus menempatkan siswa sebagai pusat dari proses belajar mengajar, sama halnya dengan layanan dalam BK harus memberikan layanan yang berpusat pada peserta didik sehingga akan mengembangkan minat, motivasi, dan kemampuan individu menjadi lebih aktif, kreatif dan inovatif serta bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri.
Setelah memahami pemikiran KHD dan menyadari kekeliruan saya, saya bertekad untuk mulai melakukan perubahan dalam memberikan layanan terhadap peserta didik yang saya lakukan. Saya akan memberi ruang dan kebebasan pada peserta didik untuk menggali potensi mereka menurut kodratnya masing-masing. Selain itu, pemberian layanan BK yang selama ini menjadikan saya sebagai subyek akan saya benahi menjadi pemberian layanan yang berpusat pada peserta didik contohnya ketika melakukan layanan responsif maka akan saya lakukan dengan menggunakan pendekatan SFBC (Solution-Focused Brief Counseling) dimana pada pendekatan ini siswa dengan bimbingan guru BK dapat menemukan solusi-solusi untuk masalah yang dihadapi peserat didik.
Dengan demikian saya juga berharap sekaligus bertekad untuk menjadi seorang guru BK yang menjiwai semangat Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani. Sehingga kedepannya saya akan berperan sebagai penuntun dimana saya sebagai guru BK menjadi penuntun yang memberikan bimbingan, arahan yang sesuai dengan karakter peserta didik, tanpa memberikan perintah dan memaksa keinginan pribadi, tetapi lebih kepada membuat kesepakatan-kesepakatan bersama dengan peserta didik sehingga ketika suatu masalah yang dialami peserta didik dapat terselesaikan dengan solusi yang memang diharapkan peserta didik, maka diharapkan bisa mengantarkan peserta didik mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia ataupun sebagai masyarakat seutuhnya, sesuai dengan tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara.
Afriyani, S. Psi.
CGP Angkatan 10, Kabupaten Kutai Kartanegara