Tenggarong, KBKPI NEWS – Satu-satunya sekolah menengah pertama di dataran tinggi daerah Muai, riuh dengan suara remaja yang mengejar angin puting beliung. Ya, angin puting beliung berskala kecil merupakan hal yang biasa di daerah tersebut. Angin kelisu, demikian mereka menyebutnya. Fenomena alam yang tidak mungkin kita temukan di daerah perkotaan.
Muai adalah nama daerah di Kembang Janggut. Untuk menuju ke daerah tersebut, kita perlu menyeberangi Sungai Belayan. Konon nama Muai berasal dari nama kayu yang dapat menjadi obat penyakit kulit. Daerah Muai memang penghasil kayu terbaik pada masa lalu. Tak heran banyak pendatang yang menetap di sana karena ketika menjadi karyawan perusahaan, mereka tidak tinggal di mess tetapi membangun rumah sendiri dari limbah kayu perusahaan tersebut.
SMP Muai berdiri pada tahun 2016. Beralamat di Jalan Cakra RT 9 No. 99, sekolah ini hanya terdiri dari satu bangunan dengan tiga ruang. Dua ruang kelas dan satu ruang guru. Ruang guru tersebut juga menjadi ruang kepala sekolah, perpustakaan, dan ruang tamu. Seiring berjalannya waktu, dua ruang kelas dirombak menjadi tiga ruang kelas sehingga kelas tampak lebih sempit.
Keterbatasan sarana prasarana dan juga guru yang sering berganti membuat pelaksanaan IKM di sekolah kurang berjalan lancar. Guru yang baru masuk harus diberi pemahaman lagi tentang karakteristik sekolah dan kurikulum yang diterapkan di sekolah.
Kegiatan literasi di sekolah juga kurang berjalan karena keterbatasan buku bacaan. Saat ini, sekolah yang berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Muai ini membutuhkan dukungan buku pelajaran dan buku bacaan. Keterbatasan tersebut tidak membuat siswa di sekolah itu menjadi putus asa. Dengan keterampilan kepala sekolah SMP Muai, Juliansyah, S.Pd. yang merupakan Pramuka sejati, siswa banyak mendapat prestasi dari kegiatan Pramuka dan PMR. Bahkan juara panjat tebing dan renang dihasilkan dari sekolah ini.
Satu hal yang menarik dari karakteristik peserta didik adalah keberagaman suku dan bahasa di sekolah ini. Bima, Lombok, Dayak Modang, Bunak, Batak, Toraja, Dayak Punan, Kutai, Banjar, Bugis, Kubu, Sasak, dll. Pak Jul -panggilan akrab kepala sekolah- menjelaskan bahwa keberagaman di sekolah ini adalah keunikan tersendiri. Awalnya pernah juga terjadi perpecahan tetapi sekarang semua sudah memiliki rasa persatuan.
Bahasa Indonesia dan bahasa Kutai adalah bahasa yang banyak didengar di sini. Walaupun demikian, siswa tidak melupakan bahasa daerahnya sendiri. Ketika diajak berbicara oleh tim KBKPI dengan bahasa Bima, siswi yang berasal dari Nusa Tenggara Barat bisa menjawab dengan lancar.
Keberagaman di sekolah ini bisa dieksplor melalui P5 bertema Bhinneka Tunggal Ika. Siswa dapat belajar membangun dialog tentang keberagaman suku, agama, ras, dan bahasa serta nilai budaya yang dimiliki oleh rekannya. Sukses terus SMP Muai, kami menunggu gelar karya P5 Bhinneka Tunggal Ika yang menunjukkan keberagaman di sekolah. (IF)